Agus Suryanto, Ketua Pembina Kesenian Jaranan Turonggo Putro Bismo, yang berada di Kelurahan Kampungdalem Kota Kediri menuturkan, Jaranan, sebenarnya menggambarkan cerita masa lalu, ketika Raja Bantar Angin, seorang raja dari Ponorogo bermaksud melamar Dewi Songgolangit, putri cantik dari kerajaan Kediri, atau yang biasa disebut juga dengan Dewi Sekartaji atau Galuh Candra Kirana. Konon menurut cerita, karena wajahnya jelek, Raja Bantar Angin akhirnya menyuruh Patihnya, yang bernama Pujangga Anom, seorang patih yang dikenal sangat tampan. Agar Dewi Sekartaji tidak tertarik dengan Patih Pujangga Anom, Raja Bantar Angin memintanya memakai sebuah topeng buruk rupa. Lalu Patih Pujangga Anom, datang ke kerajaan Kediri, menyampaikan maksud rajanya. Putri Sekartaji, yang mengetahui Patih Pujangga Anom mengenakan topeng, merasa tersinggung, lalu menyumpahi agar topeng tersebut, tidak bisa dilepas seumur hidup. Raja Bantarangin, akhirnya datang sendiri ke Kerajaan Kediri. Sebagai gantinya, Dewi Songgolangit meminta 3 persyaratan. Jika Raja Bantarangin bisa memenuhi, dirinya bersedia diperistri. Tiga syarat tersebut, binatang berkepala dua, 100 pasukan berkuda warna putih, dan alat musik yang bisa berbunyi jika dipukul bersamaan. Sayangnya, Raja Bantarangin, hanya bisa memenuhi 2 dari 3 persyaratan tersebut, 100 kuda warna putih yang digambarkan dengan kuda lumping, alat musik yang bisa dipukul bersamaan yakni gamelan. Sehingga, terjadi pertempuran diantara keduanya. Kerajaan Kediri, datang dengan membawa pasukan berkuda, yang kini digambarkan sebagai jaranan, sementara Kerajaan Ponorogo membawa pasukan, yang kini digambarkan sebagai kesenian Reog Ponorogo.
Diperjalanan, terjadi pertempuran. Raja Ponorogo yang marah, membabat macan putih yang ditunggani patih kerajaan Kediri, dengan cambuk samandiman, hingga akhirnya melayang ke kepala salah satu kesatria dari Ponorogo. Bersamaan dengan kejadian tersebut, seekor burung merak, kemudian juga menempel dikepala kesatria tersebut, sehingga ada kepala manusia yang ditempeli kepala macan putih dan merak, ini yang sekarang disimbolkan reog Ponorogo. Bahkan, dalam tarian reog, semua penari juga membawa cambuk. Sementara dalam kesenian jaranan, menggambarkan pasukan berkuda Dewi Sekartaji yang hendak melawan Raja Ponorogo. Barongan, Celeng dan atribut didalamnya, sebagai simbol, selama dalam perjalanan menuju Ponorogo yang melewati hutan belantara, pasukan juga dihadang berbagai hal, seperti naga, dan hewan hewan liar lainnya.
Sementara, terkait dengan munculnya makhluk halus yang konon selalu merasuki tubuh penari, dalam pertunjukan jaranan, menurut Hariadi pawang seni tradisional Jaranan Kelurahan Kampung Dalem, itu hanya ada di Kediri. Biasanya, kalau sudah menyatu dengan jaranan, pemain yang kerasukan mahkluk halus, agak sulit disadarkan.
Mereka, akan meminta berbagai macam makanan, seperti kemenyan, madu, dan candu. Tak jarang, ada juga yang meminta ubi, jagung, ayam, hingga kambing yang masih terdapat darahnya. Konon, ketika tubuh pemain sedang dimasuki makhluk halus, kemudian ada penonton yang mengeluarkan bunyi peluit, maka pemain tersebut akan marah dan mencari orang yang mengeluarkan suara.
Kini, kesenian tradisional Jaranan, sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat, seiring perkembangan jaman. Meski begitu, masih banyak segelintir masyarakat, yang berusaha mempertahankan, agar tidak punah. Salah satunya kesenian tradisonal jaranan yang bernama Turonggo Putro Bismo, yang berada di Kelurahan Kampung Dalem Kecamatan Kota Kediri. Kesenian Tradisional Jaranan Turonggo Putro Bismo, yang didirikan pada 15 Februari 2010 tersebut, beranggotakan sekitar 50 orang, mulai anak anak usia 10 Tahun, hingga orang dewasa, baik wanita maupun laki laki. Menurut Hariadi, Kesenian jaranan, sebenarnya bukan hanya sekedar kesenian. Namun, disisi lain mempunyai arti dan pesan bagi kehidupan. Dimana, dalam kehidupan, manusia tidak boleh memiliki hati yang jahat. Tetapi harus mengutamakan budi pekerti yang baik, dan bisa menjaga kerukunan dengan sesama manusia. (Anto Kristian )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar